KERIS PUSAKA BERTUAH TILAM UPIH PAMOR RAJA SULEMAN (BINTANG SULAIMAN) LINTANG PURBO PAJAJARAN ELSUBHA

(0 Ulasan)
Tersedia
Rp9,000,000 /pcs

Dijual oleh:
Elsubha

Kuantitas:
(1 tersedia )

Berat:
996gr

Harga:
Bagikan:
Dijual oleh
Elsubha
Kabupaten Bantul
(0 Ulasan Pelanggan)
KERIS TILAM UPIH PAMOR BINTANG SULAIMAN (ROJO SULEMAN) ERA PAJAJARAN,
Tilam Upih, menurut kitab sejarah Narendra Ing Tanah Jawi (1928) dhapur Tilam Upih (diberi nama Jaka Piturun) dibuat bebarengan dengan dhapur Balebang (diberi nama Pamunah) pada tahun 261 Saka pada era pemerintahan Nata Prabu Dewa Budhawaka. Dhapur Tilam Upih merupakan dhapur yang paling populer di seluruh wilayah Nusantara dan relatif bisa dijumpai pada setiap tangguh, mulai dari tangguh sepuh sanget hingga tangguh kamardikan. Dhapur Tilam Upih bentuknya hampir sama dengan dhapur Brojol, perbedaanya dhapur Brojol tidak dilengkapi dengan ricikan: tikel alis.
Menurut ilmu simbol perkerisan dari Sunan Kalijaga yang ditulis di dalam Serat Centhini, Tilam Upih adalah lambang dari cinta dan kelembutan wanita.
Tilam-upih kang rumuhun | makna pasêmonnira | murat jalma wadon dene rahsanipun | pamikire marang katga | dikaya mikir padêmi ||
Mengandung makna pasemon jika seseorang telah mencintai keris sikapnya bagaikan orang yang mencintai seorang perempuan yang menjadi garwa (istrinya), dimana ingatan pikirnya selalu tertuju kepadanya. Pada sisi lain, ada sebuah komitmen atau pengorbanan (waktu, tenaga, biaya) untuk merawatnya dengan baik.
PAMOR ROJO SULEMAN, Yen ono pamor mangkene roepane iki, diarani pamor Radja Soeleman, regane satoes negara, sapa sang nganggo barang karepe katekan, lan kena ginawe toembal lelara, yen digawe perang bisa ngaling-ngalingi kang nganggo, lan diwedeni setan, lan ora kena dialani (Pamor Duwung Babon Asli Saking Surakarta, 1937)
Konon, bila dalam sebilah keris tampak pamor berbentuk bintang bersudut lima—yang dalam bahasa empu disebut “roepane mangkene”—maka itulah yang dinamakan sebagai pamor Raja Suleman. Nilainya tidak biasa. Bahkan disebut-sebut, mahar yang pantas untuknya adalah regane satus negara—seratus negeri—sebuah idiom yang melampaui harga duniawi. Tapi kita semua tahu, bahwa nilai itu tak selalu tentang harta. Tidak sedikit sutresna keris yang berpendapat bahwa makna “seratus negara” bukan untuk dibaca secara harfiah. Ia adalah lambang—bahwa hanya mereka yang telah makarti, menapaki jalan batin dengan kesungguhan dan diberi wahyu, yang pantas memiliki pamor seagung ini. Bukan sekadar milik siapa saja, tapi milik mereka yang dipilih oleh waktu, oleh takdir, oleh Gusti. Ia bicara tentang kelayakan—tentang siapa yang pantas menyandangnya.
Masih menurut serat yang sama, siapa yang menyimpan atau memakai pusaka berpamor ini, maka apa pun kehendaknya akan dipermudah jalannya. Doanya mustajab, seakan ditarik lebih dekat ke langit, harapannya lebih lekas menemukan perwujudan. Raja Suleman diyakini bukan hanya pembawa berkah, tetapi juga penjaga. Ia bisa menjadi toembal lelara—penangkal sakit yang menyerang secara fisik maupun batin. Bahkan bila dibawa dalam pertempuran, keris ini dipercaya mampu ngaling-ngalingi—menjelma menjadi tameng tak kasat mata, menyelubungi pemiliknya dari mara bahaya. Tak hanya manusia, bahkan bangsa jin dan lelembut pun disebut segan mendekat. Ada aura gaib yang dipercaya terpancar dari pamor ini, yang bukan hanya menolak bala, tapi juga memantulkan niat jahat kembali kepada pengirimnya. Siapa yang berniat mencelakai, konon justru akan menuai balas dari langit.
Para pinisepuh di Yogyakarta kadang menyebut pamor ini dengan nama Lintang Purbo—bintang permulaan, bintang purba. Ia bukan sekadar pamor titipan pada bilah keris, melainkan simbol dari sebuah cahaya mula, nur cahya, yang bersinar sejak awal segala ada. Cahaya yang bukan sekadar penerang, melainkan sumber terang itu sendiri—Nūrun ‘alā Nūr—“Cahaya di atas Cahaya”.
Bintang Raja Suleman bukan hanya simbol, tapi juga petunjuk bagi siapa saja yang hendak membaca hidup sebagai ayat. Dalam pemahaman sosio-religi, cahaya itu bukanlah milik satu umat, tapi bersinar pada tiap-tiap makhluk yang hidup, di setiap ruang dan waktu. Ia adalah Nur yang diagungkan, dijadikan petunjuk, penuntun, dan pengingat bahwa dalam gelapnya hati manusia, hanya Nur Allah yang mampu menyalakan lentera keimanan. Tanpa cahaya itu, jiwa manusia ibarat gua tanpa pintu—tertutup dari hidayah, tersesat dari arah pulang. Tetapi ketika cahaya itu masuk, maka hidup menjadi hidup yang sebenar-benarnya: terang, penuh arah, penuh rasa. Di sanalah makna Nurun ‘ala Nur menjadi nyata—karena cahaya itu bukan sekadar menyinari, tetapi menghidupkan. Menghidupkan hati yang mati, menggerakkan batin yang kering, menyentuh sisi manusia yang terdalam.
Dan pada titik terang itulah, makna hidup mencapai puncaknya: manunggaling kawula lan Gusti—persatuan antara hamba dengan Tuhannya. Bukan lebur tanpa batas, melainkan sadar bahwa dalam tiap helaan napas, dalam tiap desir kehidupan, ada Nur yang meliputi. Ada cahaya yang tak pernah padam. Dialah awal, dialah akhir. Dialah cahaya yang menjadi jalan kembali.
Sedangkan bentuk bintang Rojo Suleman yang bersudut lima—menyerupai irisan buah belimbing—bukan sekadar motif geometris. Ia menyimpan isyarat yang halus, seperti bisikan dari langit yang meresap ke dalam bumi. Dalam tembang Lir-Ilir yang digubah Sunan Kalijaga, bentuk ini hadir tak hanya sebagai rupa, melainkan cermin esensi kehidupan yang menuntun jiwa menuju ketauhidan. Lima sisi bintang Rojo Suleman bagaikan lukisan filsafat. Bagi umat Islam, setiap sudutnya mencerminkan lima rukun Islam—pilar kokoh yang menjadi fondasi iman. Bersamaan dengan itu, lima sisi ini juga melambangkan shalat lima waktu, ritme spiritual yang mengalir setiap hari, mengingatkan manusia untuk selalu terhubung dengan Sang Pencipta.
Dalam ajaran Hindu, bintang ini menjelma sebagai Panca Maha Bhuta, lima elemen dasar yang menyusun alam semesta (bhuwana agung) sekaligus tubuh manusia (bhuwana alit). Panca Maha Bhuta adalah harmoni alam yang hidup dalam diri manusia. Ada Akasa, ruang kosmik yang menjadi wadah bagi empat unsur lainnya: Pertiwi (tanah), Tirta (air), Agni (api), dan Bayu (angin). Ketika seseorang mampu membangkitkan sinergi kelima elemen ini dalam dirinya, ia menjelma menjadi manusia sejati, yang hidup dengan keseimbangan sempurna. Pertiwi mengajarkannya keteguhan dan pantang menyerah, seperti bumi yang kokoh menyangga kehidupan. Tirta memberinya keluwesan, bak air yang mengalir menyesuaikan bentuk wadahnya. Agni menyulut semangat, gairah, dan wawasan luas, laksana api yang tak pernah padam. Sementara Bayu menanamkan rasa hormat dan harga diri, sebagaimana angin yang berhembus dengan kebebasan namun penuh makna.
Manusia yang menyadari dirinya tersusun dari Panca Maha Bhuta dan mampu mengendalikannya adalah sosok yang istimewa. Ia bagaikan avatar dalam legenda, penguasa empat unsur alam semesta. Ia menjalani hidup dengan penuh kesadaran sejati, menggabungkan keteguhan bumi, keluwesan air, kobaran api, dan kepekaan angin. Dialah manusia paripurna, yang tak hanya hidup, tetapi juga memberi makna bagi alam semesta.
Grosir Tasbih Impor Mesir
Menjual Tasbih Impor dan Perhiasan Impor Mesir , Maroko, Sudan, Iran, Yaman, Bergaransi keaslian , Berdiri sejak 2020
elsubha.com
Ngentak, RT. 004, Seloharjo, Kec. Pundong, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55771
Sigit Waskito Aji
+6281312340489
https://youtube.com/shorts/mLO4gnm-zRI?si=gzshghtTSHZCI9RU
Belum ada review untuk produk ini.
Hobikoe
Make Your history with your hobby



Info Kontak

  • Alamat: Jl. Prof. DR. Soepomo SH No.1114A, Warungboto, Kec. Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55164
  • Telepon: 081227511111
  • Email: cs@hobikoe.com