KERIS PANDHAWA CINARITA, kadang disebut Pendawa Carita, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk lima. Bilahnya ada yang nglimpa, ada yang nggigir sapi; memakai ada-ada. Keris ini memakai kembang kacang; jenggot, jalen, lambe gajah-nya dua, tikel alis, sogokan rangkap, sraweyan dan greneng. Keris dhapur Pandawa Cinarita tergolong populer walaupun sekarang jarang dijumpai.
Keris berdhapur Pandhawa Cinarita ini dahulu lazim banyak dimiliki oleh para Dalang. Karena dianggap bertuah baik bagi orang yang mencari nafkah dengan cara bicara, menjadi alasan banyak diburu oleh mereka yang berprofesi sebagai motivator, presenter, mc, sales dan lain sebagainya.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri menggunakan daun lontar. Seturut masuknya agama Islam di Jawa dan Bali, untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu Jawa (animisme dan dinamisme) serta kesan pemujaan terhadap arca/dewa, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia.
Sunan Kalijaga atau Raden Syahid adalah salah seorang tokoh penyebar agama Islam (Wali) di Indonesia yang menggunakan seni pewayangan sebagai salah satu media dakwahnya. Untuk menghindari larangan agama waktu itu dan supaya lebih luwes untuk bisa diterima masyarakat luas, tokoh-tokoh tersebut dibuat serba pipih, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki tidak persis seperti manusia biasa, dilukis hanya pada selembar kulit. Oleh Sunan Kalijaga tiap tokoh diubah ditatah sendiri-sendiri seperti yang kita jumpai sekarang. Uniknya, penokohan tersebut justru malah membuat makin tinggi estetika dan nilai seninya. Dalam pentasnya sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk lambang-lambang. Dipadukannya ajaran Islam dengan falsafah pewayangan membuat banyak rakyat biasa hingga bangsawan dan cendekiawan yang tertarik untuk menjadi pengikutnya.
Dalam dunia pewayangan, rukun Islam oleh Sunan Kalijaga digambarkan melalui lima kesatria Pandawa. Para tokoh protagonis sekalipun dapat sekali-kali melakukan kesalahan. Sehingga bagaimanapun karakter diciptakan, akan tetap ‘manusiawi’. Berikut penjabarannya;
Rukun Pertama, dijelmakan dalam tokoh tertua Raden Yudhistira alias Samiaji atau Puntadewa. Dengan senjata pamungkasnya Jimat Kalimosodo (Kalimat Syahadat), raja bijaksana itu tidak pernah kalah dan tidak pernah putus asa. Ia selalu sabar menghadapi musibah, senantiasa berbaik sangka kepada setiap orang, dan kalau perlu mengalah demi menjaga persatuan menuju kejayaan.
Rukun kedua, salat (fardhu), diisyaratkan melalui Raden Werkudara atau Bima (Brathasena), yang tidak pernah duduk dan selalu siap dengan Kuku Pancanaka-nya. Artinya, salat lima waktu tidak boleh tidak mesti ditegakkan dalam keadaan apapun. Sedang sakit pun salat harus tetap dikerjakan seperti halnya Bima yang selalu berdiri kokoh setiap saat. Lewat pelaksanaan salat, derajat manusia adalah sama tidak dibeda- bedakan, termasuk antara orang kecil dan pembesar negara sekalipun. Hal itu diibaratkan sama dengan sikap Werkudara yang tidak pernah memakai bahasa halus kromo inggil dan tetap berbicara ngoko kepada semua orang, tanpa bermaksud kurang ajar.
Rukun ketiga, puasa (dalam bulan Ramadan), menggunakan lambang Raden Arjuna (Raden Permadi), ksatria Pandawa yang paling tampan dan banyak digandrungi kaum hawa. Persis seperti orang berpuasa, godaan hawa nafsu akan tiba-tiba menjadi banyak sekali. Andaikata tidak kuat melawannya, pasti akan jebol pertahanannya.
Rukun keempat dan kelima, zakat dan haji, digambarkan sebagai dua ksatria kembar, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Mereka adalah tokoh yang tidak sering muncul, sebagaimana zakat dan haji yang hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu. Akan tetapi, tanpa Nakula dan Sadewa, Pandawa akan rapuh dan tidak bisa berdiri tegak. Begitu pula umat Islam, jika tidak ada para hartawan yang sanggup membayar zakat dan menunaikan haji, fakir miskin akan terancam oleh kekafiran dan pemurtadan. Kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang melarat tidak akan terjembatani.