KERIS LALER MENGENG (KANCING GELUNG) LUK 5, Dalam tabel ricikan dan nama dhapur di buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar yang ditulis oleh Haryono Haryoguritno, diterangkan Laler Mengeng adalah salah bentuk keris luk lima (ada yang lurus) yang muncul dengan bentuk khusus/khas, yakni memiliki gandhik dengan hiasan laler mengeng. Adapun ricikan lainnya adalah: pejetan, tikel alis, sraweyan dan greneng.
Sedangkan dalam Buku Ensiklopedi Keris yang ditulis Bambang Harsrinuksmo, Laler Mengeng merupakan salah satu bentuk dhapur keris lurus. Panjang bilahnya normal, permukaannya rata dan datar sebab tanpa adha-adha. Gandhik-nya agak panjang, dengan kembang kacang terbalik: kembang kacang itu tidak menonjol ke luar gandhik, melainkan masuk ke dalam. Selain itu tidak ada ricikan lainnya. Walaupun sebenenarnya Laler Mengeng merupakan dhapur keris lurus, pada kenyataannya ada juga Laler Mengeng yang merupakan keris luk tiga dan lima, bahkan ada yang digabung dengan dhapur Damar Murub.
Membicarakan keris Laler Mengeng persepsi kita akan menjurus kepada suatu kengerian, selain dari nama Laler Mengeng itu sendiri yang berkonotasi dengan bangkai atau simbol yang mengiringi kedatangan kematian, juga kisah-kisah mengenai keris ini—terlepas benar dan tidaknya (Penulis pun belum mendapatkan referensinya) lebih banyak identik dituturkan sebagai “alat eksekusi” terhadap pemberontak atau musuh politik Raja. Dalam beberapa cerita rakyat hanya dengan mengeluarkan atau menunjukkan keris ini sudah akan diketahui bagaimana ajal menjemput sang terpidana. Simbol “Vonis Mati” ini menunjukkan jika Laler Mengeng bukan hanya sekedar keris biasa, tetapi juga menjadi simbol keadilan dan otoritas Raja.
Salah satu ricikan pembeda Laler Mengeng dengan keris lainnya adalah bentuk sekar kacang yang terbalik, yang diyakini secara tradisional menyebabkan luka yang lebih parah jika keris ditusukkan ke tubuh musuh. Dalam posisi terbalik, anatominya menyerupai kait atau duri kecil yang menonjol ke arah berlawanan dari arah tusukan. Saat menusuk, luka menjadi lebih lebar atau robek, karena bentuk kait menyangkut daging atau organ tubuh saat keris ditarik kembali. Ini menimbulkan pendarahan yang lebih hebat dan mempercepat kematian.
Dalam arti harfiah Laler = Lalat dan Mengeng atau ambrengengeng = berbunyi. Jadi Laler Mengeng berarti lalat yang sedang mengeluarkan suara ambrengengeng atau mendengung karena kepak sayapnya. Dalam seni karawitan jawa, Laler Mengeng adalah salah satu gending jawa laras slendro sanga yang dalam pertunjukkan wayang kulit purwa sering dimainkan untuk mengiringi pathet sanga, ketika seorang kesatria sedang dihadap para punakawan. Gending ini bernuansa kesedihan/sedang bersedih. Nama Laler Mengeng mengisyaratkan pada suara tangisan duka yang mirip suara kepakan sayap lalat (Ensiklopedi Wayang Indonesia L-M-N 2017b: 17).
Filosofi Laler Mengeng mengajarkan kita untuk selalu sadar dan ingat akan lelayoning urip—hakikat hidup yang sejatinya hanyalah menunggu giliran untuk kembali ke pangkuan-Nya. Kematian bukan untuk ditakuti, melainkan disiapkan. Seperti lalat yang terus berdengung tanpa henti, hidup pun berjalan tanpa kepastian kapan akan berhenti. Momen kontemplatif dan penuh keheningan batin. Suara dengungan lalat, yang samar namun terus terdengar, menjadi simbol suara kesedihan, kesunyian, dan pengingat akan kefanaan hidup.
Dalam dengungan itu, terselip makna: bahwa kita mesti merenung akan dosa-dosa diri, karena hari penghakiman pasti akan tiba. Setiap perbuatan, besar atau kecil, akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dhapur Laler Mengeng mengajak kita untuk terus mengingat diri, memperbaiki laku, dan senantiasa memohon ampunan kepada Tuhan YME, selagi waktu masih diberi.