KERIS PUSAKA BERTUAH KIDANG MAS PAMOR GAJAH GELAR LUK 9 RENGKOL PENGGING HANDAYANINGRAT ELSUBHA

(0 Ulasan)
Tersedia
Rp50,000,000 /pcs

Dijual oleh:
Elsubha

Kuantitas:
(1 tersedia )

Berat:
1000gr

Harga:
Bagikan:
Dijual oleh
Elsubha
Kabupaten Bantul
(0 Ulasan Pelanggan)

KERIS KIDANG MAS PAMOR GAJAH GELAR PENGGING HANDAYANINGRAT,
Kidang Mas atau Kidang Kencana diwujudkan dalam sebuah bentuk keris berluk sembilan dengan ricikan gandhik polos (lugas) atau tanpa sekar kacang. Keris ini memiliki ricikan yang lain berupa: pejetan, tikel alis serta greneng pada bagian gonjo-nya (menurut Buku Keris Antara Mistik dan Nalar karya Bapak Haryono Haryoguritno.) sedangkan menurut Buku Dhapur iyasanipun Kangjeng Pangeran Harya Hadiwijaya terdapat sedikit perbedaan yakni Kidang Mas : Luk Sanga, Gandhik Lugas, Pejetan, Greneng. (tanpa disebutkan adanya Tikel Alis) ,Hal yang membedakan antara Kidang Mas dengan Buto Ijo adalah di bagian Sraweyan. Sedangkan pembeda antara Kidang Mas dengan Kidang Milar adalah adanya Tikel Alis, Kidang Milar tidak memakai Tikel Alis hanya Gandhik Lugas, Pejetan dan Greneng (Tanpa Tikel Alis dan Sraweyan). Mendapatkan Dhapur Kidang Mas dengan Luk yang Sarpo Nglangi (Rengkol) sangatlah tidak mudah tentunya yang Asli dan Original tangguh Pengging.

“Sawijineng kewan alasan memper wedhus, nanging ulese mrusuh kuning ngemu giring arane kidang kencana. Aja dumeh kidang, nanging beda lan kidang liyane, dheweke duwe prabawa kang gedhe, nganti gawe kepencute sapa kang wuninga. Mungguh sapa sejatine kang memba-memba dadi kidang iki, ora liya abdi kinasih, hiya pothete negara Ngalengka, kang ora omo liya kajaba Ditya Kala marica saperlu nggora godha Dewi Sinta. Sang Dewi kapilu marang kaindahan, kidang kencana nganti lali purwa duksina menawa tetelun lagi ana madyaning alas kang gawat kaliwat. Kidang musna lan sang Dewi aminta ingkang Raka Prabu Rama supaya arsa ambujug nganti kacandhak arsa kanggo klangenan….. ” Kutipan dari Epos Ramayana.

Di sebuah negeri yang bernama Mantili ada seorang puteri nan cantik jelita bernama Dewi Shinta. Dia seorang puteri raja negeri Mantili yaitu Prabu Janaka. Suatu hari sang Prabu mengadakan sayembara untuk mendapatkan sang Pangeran bagi puteri tercintanya yaitu Shinta, dan akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Putera Mahkota Kerajaan Ayodya, yang bernama Raden Rama Wijaya. Namun dalam kisah ini ada juga seorang raja Alengkadiraja yaitu Prabu Rahwana, yang juga sedang kasmaran terhadap Dewi Shinta.

Dan ceritapun berawal, dalam sebuah perjalanan Rama dan Shinta dan disertai Lesmana adiknya, sedang melewati hutan belantara yang dinamakan hutan Dandaka, sang raksasa Prabu Rahwana mengintai mereka bertiga, khususnya Shinta. Rahwana ingin menculik Shinta untuk dibawa ke istananya dan dijadikan istri. Dengan siasatnya Rahwana mengubah seorang hambanya bernama Kala Marica menjadi seekor kijang kencana. Dengan tujuan memancing Rama pergi memburu kijang jadi-jadian itu, karena Dewi Shinta menginginkannya, dan memang benar setelah melihat keelokan kijang tersebut, Shinta meminta Rama untuk menangkapnya. Karena permintaan sang istri tercinta maka Rama berusaha mengejar kijang seorang diri sedang Shinta dan Lesmana menunggui hasil perburuan Rama. Shinta khawatir dengan keadaan Rama yang tak kunjung datang, akhirnya Shinta meminta Lesmana untuk menyusul Rama, Lesmana pun kemudian menyusul Rama, akan tetapi Lesmana memberikan pelindung kepada Shinta, guna menjaga keselamatan Shinta yaitu dengan membuat lingkaran magis. Dengan lingkaran ini Shinta tidak boleh mengeluarkan sedikitpun anggota badannya agar tetap terjaga keselamatannya.

Setelah Lesmana pergi Rahwana pun berusaha menculik Shinta dengan merubah wujudnya menjadi seorang Brahmana tua, Shinta merasa kasihan terhadap Brahmana Tua, akhirnya Shinta mengulurkan tangannya dan keluar dari lingkaran magis yang dibuat oleh Lesmana, alhasil Shinta pun diculik oleh Rahwana dan di bawa ke Alengka, Disaat Shinta di Negara Alengka datang Hanoman untuk menyampaikan pesan sebagai utusanya Rama, kemudian Hanoman mengobrak-abrik taman Argasoka. Rahwana berhasil menangkap Hanoman dan membakarnya, namun sang Kera Putih itu berhasil melolosakan diri, Hanoman pun menceritakan semua kejadian itu dan akhirnya Rama kemudian datang di Negara Alengka untuk merebut Shinta Kembali, terjadilah pertempuran dan dimenangkan oleh Rama, setelah Rama bertemu dengan Shinta kembali, Rama menolak Shinta yang menggap bahwa Shinta sudah tidak suci lagi selama Shinta berada di kerajaan Alengka, maka Rama meminta bukti kesuciannya, yaitu dengan melakukan pati obong. Karena kebenaran, kesucian Shinta dan pertolongan Dewa Api, Shinta selamat dari api. Dengan demikian terbuktilah bahwa Shinta masih suci dan akhirnya Rama menerima kembali Shinta dengan perasaan haru dan bahagia. Dan akhir dari kisah ini mereka kembali ke istana masing-masing.

Dhapur Kidang Mas merupakan sebuah pengingat: ketercukupan harta kekayaan dan segala kebutuhan hidup serta kemuliaan derajat tidaklah salah jika dikejar, tetapi hendaknya jangan sampai terlupa, bahwa aspek materiil seperti uang, emas, aset dan harta keduniawian lainnya itu sifatnya hanya sementara. Semua itu tampak menggoda dan bisa menjadikan kita “tersesat, akibatnya seperti kisah di atas, perjuangan panjang dan pengorbanan besar menanti di depan Rama dan Lesmana untuk membebaskan Sinta dari sekapan Rahwana. Sehingga perlu diingat bahwa :

"Harta yang sesungguhnya adalah Ibadah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, amal jariyah, serta segala ilmu dan kebaikan yang kita lakukan bagi orang lain."

TANGGUH PENGGING, Membahas mengenai tangguh Pengging dalam dunia perkerisan setidaknya ada 2 (dua) era yang dimaksud yakni; pertama Era Pengging Hindu (Witaradya) sebelum Majapahit dan Era Pengging sejaman Islam Demak (Handayaningrat). Seperti halnya Madiun semasa kerajaan Pajang maupun setelah memasuki Era Mataram, maka Pengging di zaman kasultanan Demak Bintoro juga hanya merupakan sebuah Kadipaten, namun eksis dalam tangguh perkerisan. Bambang Harsrinuksmo dalam Buku Ensiklopedi Keris menulis Tangguh Pengging; pasikutannya sedang, ramping garapannya rapi. Jika keris luk, luk-nya rengkol sekali. Besinya hitam dan berkesan basah. Pamornya tergolong kalem dan berkesan mengambang. Gonjo-nya tipis, sirah cecaknya pendek. Sedangkan Haryono Haryoguritno dalam Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar memberikan gambaran tabel tangguh atau periodesasi keris dengan memasukkan tangguh Pengging sebagai kategori Tangguh Sepuh setelah Majapahit atau sejaman dengan Demak (kurang lebih akhir tahun 1400 M hingga awal tahun 1500-an M).

Pengging masih tetap Pengging yang sekarang menjadi Kelurahan Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Adalah nama sebuah kerajaan kuno yang pernah berdiri di Jawa Tengah. Raffles dalam bukunya yang terkenal, “The History of Java” mencatat keberadaan dua kerajaan pada sekitar tahun 800 M yakni Brambanan yang dipimpin oleh Baka dan Pengging, yang dipimpin oleh Rajanya bernama Angling Dria. Pada tahun 900 M kedua Raja ini kemudian berperang satu sama lain, dan Raja Baka mati terbunuh dalam peperangan. Nama Pengging juga disebutkan dalam kitab Negara Kretagama pada Pupuh XVII bait 10 yang dilokalisir dikawasan sebelah barat delta Brantas, di daerah hulu bengawan Solo. Sementara deskripsi lokasi keraton Pengging berdasar peneltian fragmen dan artefak seperti yang tersebutkan pada Babad Jaka Tingkir : “bahwa makam adik ratu Pembayun yang bernama ratu Masrara atau rara Kendat dimakamkan berada sebelah timur kedaton Pengging”, yang ditemukan yaitu diantara makam Bodean dan umbul Kendat (Boyolali).

Wagu namun wangun, itulah kesan medalam pertama yang bisa dirasakan. Memang, mulai dari tarikan awal luknya hingga jatuhnya ujung keris (panitis) yang mendongak mempunyai kekhasan yang berbeda dengan langgam daerah manapun. Bentuk sekar kacang cupet dan posisi pesi yang centre di tengah bilah menambah penampilan uniknya. Jika dicermati lebih lanjut bentuk pejetan yang ada tampak dalam, serta tidak berimbang sisi kanan dan kirinya. Serat besinya halus, padat, dan tampak basah seolah membawa darah Majapahit. Begitu juga dengan tantingannya sangat ringan, jika disentil bergema nyaring pertanda ditempa melalui sebuah kematangan. Sebuah harta karun yang beruntung masih bisa didapatkan dari pelosok dusun.

LUK 9 PENGGING, Dalam pemahaman budaya perkerisan khususnya di tanah Jawa dikenal bahwa keris tangguh Pengging yang memiliki makna spiritual yang paling tinggi adalah luk 9. Mengapa demikian? Tentu hal ini tidak lepas dari hubungan sejarah bahwa penguasa Pengging (Kebo Kenanga/Ki Ageng Pengging II) adalah murid terbaik dari Syekh Siti Jenar atau yang dikenal sebagai Syekh Lemah Abang. Terlebih Ki Ageng Pengging gencar mendakwahkan sembilan (9) ajaran pokok Syekh Siti Jenar yang dianggap “menyimpang” oleh Kasultanan Demak dan dicurigai hendak memberontak karena tidak bersedia sowan menghadap ke Demak. Maka Sunan Kudus pun dikirim untuk “mengadili” penguasa Pengging itu.

Walau oleh beberapa ahli tafsir sejarah keputusan Raden Patah bisa dianggap bermuatan unsur politis, karena dalam garis keturunan Ki Ageng Pengging, sebenarnya mengalir darah Singhawardhana, pewaris sah tahta Majapahit. Karena nenek beliau, yaitu Dewi Amarawati atau Permaisuri Dewi Murdaningrum telah diangkat sebagai permaisuri dari Prabu Brawijaya V. Sehingga jelas manakala Prabu Brawijaya V kelak lengser keprabon atau wafat, yang berhak menggantikan seharusnya adalah putri sulung beliau Dyah Hayu Ratna Pembayun atau Ratu Sulung yang dinikahkan dengan Adipati Pengging, Handayaningrat IV (Joko Sengoro), bukan Raden Patah. Seluruh masyarakat Majapahit tahu akan hal ini. Tahu siapa yang seharusnya berhak memegang tahta. Sehingga diam-diam, pengaruh keturunan Pengging masih terasa sangat besar di wilayah Demak Bintara. Bagi pemerintahan Demak, keturunan Pengging adalah bahaya laten.

GAJAH GELAR, adalah salah satu jenis motif pamor yang gambarannya berupa empat hingga lima buah garis lurus yang membujur berjajar dari sor-soran hingga pucuk bilah. Masing masing garis tebalnya 3 sampai 5 mm. Tuahnya dipercaya dapat menambah kewibawaan dan membuat pemiliknya menjadi bertambah kekuasannya. Pamor Gajah Gelar hampir mirip dengan Pamor Janur Sinebit, perbedaannya adalah gambaran garis pamor Janur Sinebit lebih mengumpul di tengah. Dari segi pembuatannya termasuk pamor miring dan langka yang tidak sembarang orang akan cocok bila memilikinya. Mereka yang berprofesi sebagai wakil rakyat atau mereka yang duduk di tampuk pemerintahan hingga perwira polisi atau militer lebih cocok memiliknya.

“Gajah” adalah salah satu hewan yang besar, tinggi, gagah dan kuat yang hidup di dalam hutan. Meskipun kelihatan lamban namun sejatinya gajah dilahirkan dengan ketajaman naluri atau pandai dalam membaca isyarat, cerdas dalam memaknai gelagat yang melebihi hewan-hewan lainnya. Gajah selalu hidup dalam kelompok, biasanya kawanan ini dipimpin oleh Gajah yang paling dewasa dan paling besar/kuat. Sebagai hewan mamalia besar, gajah memerlukan daya jelajah yang luas. Dalam mencari makan pun mereka selalu bergerombol tidak pernah berpisah. Sehingga kemanapun mereka pergi jejak-jejak yang ditinggalkan akan terlihat, semak-semak hingga tanaman tanaman kecil yang dilaluinya akan rebah diterjang kawanan ini seperti jalan yang terbuka. Mereka merobohkan pohon untuk menyediakan pakan bagi herbivora dan hewan kecil lainnya. Mereka membuang biji dan mikroba saat berjalan untuk menyebarkan dan menyuburkan tanaman di padang sabana. Karena kemampuan spesialnya ini sebelum ada tank hingga truk sebagai alat transportasi, kawanan gajah di zaman dahulu dipergunakan sebagai alat angkut logistik hingga infanteri pembuka. Menurut cerita wayang ringgit purwa, beberapa raja yang memiliki tunggangan gajah adalah Prabu Baladewa dari kerajaan Mandura. Gajah tunggangannya bernama Kyai Puspadenta, warnanya putih. Adapula Ptabu Suyudana yang bertahta di kerjaan Ngastina mempunyai tunggangan gajah bernama Esthitama. Gajah dalam penggambaran kultural telah lama digunakan sebagai inspirasi dalam konsep mitologi, simbolisme, dan agama. Dalam mitologi dan tradisi agama, baik di Asia dan Afrika, gajah digambarkan sebagai simbol kekuatan dan kebijaksanaan.

Sedangkan “Gelar” dalam Kamus Tembung Kawi Mawi Tegesipun (Winter, 1928) memiliki beberapa arti/makna: wontên, gumêlar, tata, tingkah. Maka garis/alur-alur besar yang terdapat dalam pamor Gajah Gelar” ibarat jejak dari pasukan gajah yang digelar untuk menerjang rintangan dan membuka jalan bagi yang lain sekaligus menciptakan jalan perubahan. Bagi pemiliknya pamor Gajah Gelar menggambarkan semangat yang besar, penuh gelora dan tekad bulat untuk mencapai cita-cita. Sekaligus sebuah sifat yang harus diteladani, besar namun tidak sombong.

"Apa yang kita lakukan semata-mata untuk diri sendiri, akan terkubur mati bersama kita. Namun perubahan yang kita lakukan untuk orang lain, akan terus hidup kekal abadi"

Grosir Tasbih Impor Mesir
Menjual Tasbih Impor dan Perhiasan Impor Mesir , Maroko, Sudan, Iran, Yaman, Bergaransi keaslian , Berdiri sejak 2020
elsubha.com
Ngentak, RT. 004, Seloharjo, Kec. Pundong, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55771
Sigit Waskito Aji
+6281312340489
https://youtube.com/shorts/f_upGtuCgKI?si=l-vPwwuoT8FebzsC
Belum ada review untuk produk ini.
Hobikoe
Make Your history with your hobby



Info Kontak

  • Alamat: Jl. Prof. DR. Soepomo SH No.1114A, Warungboto, Kec. Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55164
  • Telepon: 081227511111
  • Email: cs@hobikoe.com